Sabtu, 03 Mei 2008









Wayang: Kesenian Adiluhung



A. Wayang: Simbol Kehidupan Masyarakat Jawa



Tidak ada salahnya bila kita mengadakan investigasi terhadap masa lalu dengan memfokuskan pada proses penyebaran pemikiran khas jawa melalui media wayang, dan terjadinya akulturasi serta asimilasi ketika tersusupi oleh budaya asing yang lebih besar semisal budaya yang dibawa oleh islam. Dan dari sini setidaknya, kita sedikit banyak akan mengetahui seberapa besar islam mendominasi pola berfikir masyarakat jawa yang sesungguhnya merupakan masyarakat berkepercayaan animisme dan dinamisme.



Untuk mengenal secara mendalam tentang masyarakat jawa, kita bisa melakukannya lewat kesenian wayang. Sebab diakui atau tidak, wayang merupakan unsur penting yang tidak boleh hilang dari masyarakat jawa. Ia simbol perilaku kehidupan manusia jawa, ia merupakan miniatur dari dunia jawa dan dunia kejawen yang seringkali dalam mengkaji suatu kebenaran dilakukan melalui rasio dan indra batin1.



Bahkan masyarakat asingpun mengakui akan keberadaan kesenian wayang sebagai unsur penting dalam masyarakat jawa. Anderson seorang sarjana Barat misalnya, mengakui bahwa wayang merupakan ‘compelling religius mythology’, yang menyatukan masyarakat jawa secara menyeluruh, baik secara horizontal maupun vertikal2. Claire Holt yang juga merupakan seorang sarjana barat, mengatakan bahwa wayang melambangkan masyarakat jawa yang merupakan ‘suatu dunia stabil berdasarkan konflik (a stable world based on conflict)3.



Kesenian wayang bukan lagi merupakan kesenian yang asing bagi kita khususnya masyarakat jawa dan umumnya masyarakat Indoensia. Ketika membicarakan wayang, kita berarti membicarakan aspek-aspek di dalamnya yang meliputi aspek seni bahasa, seni rupa, seni drama, seni musik, seni tari, sampai dengan aspek filosofinya. Karena itu mengapa orang mengatakan bahwa wayang merupakan kesenian adiluhung.



Dilihat dari aspek seni bahasa misalnya, dalam memainkan wayang perlu menguasai tingkat-tingkat tutur yang bermacam-macam yang cocok bagi status setiap tokoh. Sebab bila kita tidak menguasai aspek ini, maka sudah dipastikan permainan wayang akan terlihat jelek dantidak mampu memikat penonton. Karena itu seorang dhalang adalah seorang yang mampu menggambarkan semua keindahan yang tercipta dengan kata-kata yang penuh perasaan, yang mampu memikat penonton, dan sarat dengan pesan-pesan moral.4



Dilihat dari apek seni rupa, membuat wayang bukanlah perkara mudah. Ia merupakan produk kecermatan tak terhingga serta mampu memancarkan tingkat kecermatan dan ketelitian sanga pembuat. Karena itu seorang pengrajin wayang harus mampu menghadirkan perasaan terdalamnya. Selain itu juga diperlukan ketelitian, kehati-hatian, dan memakan waktu cukup lama.



Dilihat dari seni drama, seorang dhalang harus mampu membawakan suatu lakon dengan baik dan menarik. Pada adegan-adegan peperangan misalnya, ia harus mampu memegang wayang pada setiap tangannya dan membuatnya mengancam untuk berkelahi, menusuk keris, atau melepaskan anak panah. Ia juga harus mampu memainkan adegan-adegan sesuai dengan aslinya. Misalnya adegan wayang yang tengah gembira, maka sang dhalang juga harus mampu menghadirkan perasaan gembira. Begitu pula ketika dituntut untuk menghadirkan adegan-adegan yang sedih-sedih, seorang dhalang juga harus mampu untuk menghadirkan suasana yang sedih-sedih. Sehingga penonton mampu terbawa dan menghayati setiap lakon yang dimainkan.5
Wayang6 selain dikenal sebagai sebuah boneka yang terbuat dari kulit dan memiliki tangkai, serta dipahat pipih dan diberi warna khas, juga dikenal sebagai salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional masyarakat jawa yang mampu menyajikan tontonan menarik sekaligus tuntunan berharga. Dengan kata lain, wayang merupakan kesenian adiluhung yang di dalamnya banyak dijumpai adanya pesan-pesan moral luhur yang disampaikan oleh dalang (sebagai orang yang memainkan wayang) kepada masyarakat umum. Dan hal ini memang dapat dimaklumi, sebab pada awal kemunculannya, wayang memang digunakan sebagai media pembawa pesan, pemberi pesan, dan penyebar ajaran-ajaran agama melalui hiburan.



Wayang merupakan salah satu kesenian yang menyatu dalam kehidupan maasyarakat jawa. Sehingga wajar bila sebagian orang menganggap bahwa wayang merupakan ensiklopedi kehidupan. Dan dalam penyampaiannya, kesenian wayang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kesenian-kesenian lainnya7.



Seringkali, ajaran-ajaran yang hendak disampaikan dalam kesenian wayang kulit dikemas dalam bentuk pasemon, simbol atau perlambang, sehingga tentunya untuk mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperlukan penghayatan secara mendalam. Nilai-nilai ataupun ajaran-ajaran yang disampaikannya itu sesuai dengan sosiokultural, kepribadian, dan pemikiran khas masyarakat jawa sebagai sebuah masyarakat yang pertama kali menciptakan kesenian wayang tersebut. Hal ini sudah menjadi kewajaran dalam masyarakat jawa, sebab dalam setiap kali memahami filsafat, mereka memberikan suatu pengertian bahwa berfilsafat adalah berarti cinta kesempurnaan (ngudi kasampurnaan) bukan semata-mata cinta kearifan, love of wisdom, sehingga untuk menyampaikan suatu makna atau ajaran, seringkali cara penyampaiannya dengan menggunakan suatu simbol tertentu yang penuh penjiwaan, cipta, dan rasa yang tinggi 8. Misalnya saja sosok dan kepribadian dari pandawa (Mereka adalah Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa):



Yudhistira



Merupakan kakak tertua dari pandawa. Ia merupakan anak tertua dari Prabu Pandhu Dewanata dengan Dewi Kunthi. Dalam silsilahnya, ia satu ibu dengan Bratasena dan Arjuna. Sedangkan Nakula dan Sadewa merupakan saudara satu bapak tetapi lain ibu. Dan lima bersaudara ini dinamakan pandawa.



Nama lain dari Yudhistira adalah Puntadewa, Darmakusuma, Darmaputra, Dwijakangka. Sebenarnya ia merupakan putra dari Dewa Darma, sehingga dia juga dinamakan Darmaputra. Mengenai hal ini, diceritakan bahwa suatu hari, dengan kesaktiannya berupa Aji Adhityaherdaya, Pandhu meminta seorang anak kepada Dewa. Yaitu seorang anak yang jujur, sabar, bijaksana, dan adil. Sang Dewapun memperkenankan permintaan Pandhu. Kemudian turunlah Bhatara Darma dan ia menganugerahi seorang bayi kepada Dewi Kunthi yang kemudian diberi nama Yudhistira.



Yudhistira mempunyai pusaka jamus kalimasada (yang merupakan pemberian bathara Darma), Tumbak Tunggulnaga, dan Tumbak Kyai Karawelang.



Diceritakan, suatu hari Yudhistira dan saudara-saudaranya Pandawa, ditantang bermain dadu oleh Sengkuni. Karena kelicikan dari Sengkuni, Yudhistira kalah. Sehingga Pandawa harus dihukum dengan hukuman dibuang ke hutan selama tiga belas tahun. Dalam masa hukumannya itu, mereka tidak boleh berjumpa apalagi terlihat oleh Kurawa. Sebab bila hal itu terjadi, maka hukuman mereka akan ditambah selama tiga belas tahun lagi. Sehingga dalam masa hukuman, Pandawa selalu menyamar dan berganti nama. Yudhistira sendiripun berganti menjadi Dwijakangka.



Dalam lakon wayang Babad Wanamarta diceritakan, bahwa dalam masa hukumannya itu, pandawa mampu mendirikan sebuah kerajaan kecil bernama Indraprastha. Indraprastha kemudian juga hendak diambil alih secara paksa oleh para Kurawa. Dalam pewayangan diceritakan bahwa kejadian ini merupakan awal dari terjadinya perang Bharatayuda.



Selama hidupnya, Yudhistira hanya berperang sebanyak satu kali yaitu ketika berperang melawan Prabu Salya. Diceritakan dalam pewayangan bahwa menurut Kresna (pengayom Pandawa) tidak ada yang mampu untuk mengalahkan Salya kecuali Yudhistira. Sebab menurut hematnya, Salya hanya bisa dibunuh oleh ksatria yang berdarah putih. Kemudian setelah didesak, akhirnya Yudhistira bersedia untuk maju melawan Salya, dan Salyapun dapat dikalahkan.



Diceritakan pula, bahwa selama hidupnya Yudhistira tidak pernah berbohong. Ketika Durna menjadi Senopati Ngastina, tidak ada yang mampu mengalahkannya. Sebab selain karena Durna merupakan pendita yang sakti mandraguna, ia juga merupakan guru spiritualnya keluarga Pandawa. Sehingga Pandawa segan untuk berperang melawannya. Karena itu Kresna mencari akal. Menurut hematnya, Durna akan hilang kekuatannya bila mendengar anaknya (Aswatama) mati. Karena itu Werkudara disuruh untuk membunuh gajah Hestitama milik Bogodhenta. Kemudian disebarkanlah isu bahwa Aswatama mati. Mendengar isu tersebut Durna tidak percaya. Kemudian ia pergi menemui Yudhistira untuk menanyakan perihal kebenaran isu tersebut. Sebab Durna tahu bahwa selamanya Yudhistira tidak pernah berbohong.



Ketika ditanya seperti itu Yudhistira bingung, ditanya selalu diam saja, sebab takut untuk berbohong. Kemudian Kresnapun mencari cara. Yudhsitira disuruh menjawab pertanyaan Durna dengan pelan-pelan. Ketika sampai pada nama Aswatama, Yudhistira disuruh menggantinya dengan mengucap Hestitama secara pelan agar tidak terdengar jelas oleh Durna. “Inggih Bapa, Hestitama pejah ing paperangan.” Durna yang sudah tua dan pendengarannya sudah berkurang, mengira yang dikatakan Yudhistira itu Aswatama bukan Hestitama.



Spontan badan Durna berkeringat, badan menjadi lemas, meratapi anak satu-satunya yang disayanginya. Melihat keadaan Durna yang seperti itu, dengan sigap Werkudara memukul kepala Durna dengan Gada Rujakpala. Durnapun mati seketika.



Dalam pewayangan, Yudhistira digambarkan sebagai orang yang kalem. Di kepalanya ada sepotong kertas putih yang namanya jimat kalimasada. Jika dibuka konon ada tulisan syahadatnya. Ia merupakan lambang dari manusia yang berhati mulia. Berwatak samudera menguasai segala nafsu. Penyabar, tidak pernah marah, tidak pernah berbohong, serta bijaksana. Mengajarkan kepada manusia untuk selalu membiasakan berdzikir dengan dua kalimah tayyibah. Sebagai seorang ratu di negara Ngamarta, ia selalu bisa menjadi contoh bagi rakyat jelata. Sehingga rakyat merasa aman, makmur, tata titi tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi.



Werkudara



Werkudara itu merupakan putra dari Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Kunthi yang nomor dua. Werkudara merupakan jelmaan Bathara Bayu. Nama lainnya Bratasena, Bimasena, Haryasena, bayusiwi, Kusumadilaga, Jayalaga. Ia merupakan ksatria dari Jodhipati atau Tunggul Pamenang.



Nama-namanya yang banyak itu sebenarnya memiliki arti-arti tersendiri:



Bima: maknanya sangat setia pada budi satu yang luhur. Kalau sudah menajdi tekadnya, siapa saja akan sulit mempengaruhi, bahkan untuk mencapai cita-citanya itu, meskipun sampai mati akan ditempuh juga.



Bratasena: Maknanya pamungkas laku. Dia sering membersekan masalah.



Haryasena: Maknanya ketika lahir, masih berupa bungkus, dan dipecahkan oleh Gajah Sena.



Bayusiwi/Bayuputra: Karena Bima juga menjadi salah satu murid dan putra Bathara Bayu.



Kusumadilaga: Maknanya dia selalu menjadi bintang dan bunga dalam gelanggang apa saja, termasuk dalam pertempuran dan persidangan.



Jayalaga: maknanya unggul dalam setiap peperangan, kalau sudah berperang, dia malu dikalahkan9.



Istri Werkudara berjumlah tiga. Dewi Nagagini, Dewi Arimbi, dan Dewi Urangayu. Dengan Dewi Nagagini, berputra Raden Antareja. Dengan Dewi Arimbi, berutra Raden Gatutkaca. Dengan Dewi Urangayu, berputra Raden Antasena.



Raden Werkudara mempunyai pusaka bernama Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, dan Gada Lambitamuka. Aji-ajiannya berupa Bandung Bandawasa, Ungkal bener, Blabag Pengantol-antol, dan Bayu Bajra.



Busana yang dipakai Bima masing-masing memberi makna sebagai berikut:



Gelung Minangkara Cinandhi Rengga Endhek Ngarep Dhuwur Buri.



Maknanya Bima senantiasa waspada terhadap dirinya sebagai hamba yang harus pasrah dan berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa.



Pupuk Mas Rineka Jarot Asem.



Maknanya Bima mempunyai watak dan budi pekerti luhur dengan selalu berlandaskan kebenaran dan pengetahuannya, karena sudah diambil putra oleh Sang Hyang bayu.
Sumping Pundhak Sinumpet.



Maknanya Bima selalu menguraikan ilmu ksempurnaan hidup (syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat), tetapi tidak pernah menyombongkan diri. Dia sering berpura-pura bodoh.
Anting-anting Panunggal Sotya Manik Banyu.



Maknanya Bima sudah waskitha ngerti sadurunge winarah ‘bijaksana tahu sebelum diajari’ serta tidak pernah khawatir terhadap segala apa yang akan terjadi.



Kalung Nagabanda.



Maknanya Bima adalah satria gagah perkasa dan prajurit sejati, lebih baik mati daripada berkhianat.



Kelat Bahu Blebar Manggis kang Binelah Sakendhagane.



Maknanya Bima berhati emas dan suci lahir batinnya. Dia tidak mau berjanji kalau tidak ada buktinya.



Gelang Candra Kirana.



Maknanya Bima senantiaa mengarahkan agar ilmu pengetahuannya terang benderang seperti bulan purnama bercahaya (purnama sumorot).



Kampuh Pancawarna Poleng Bang Bintulu Abang Ireng Kuning Putih miwah Wilis.



Maknanya Bima dalam hidupnya mampu mengendalikan panca inderanya terhadap godaan nafsu, sehingga dia bisa ikut serta dalam memayu hayuning bawana (menjaga keharmonisan alam).



Sabuk Cindhe Wilis Kembar Beranipun kang Binelah Numpang Wentis Kanan Kering.



Maknanya Bima bisa konsentrasi dalam bermeditasi (khusyu) sehingga hati dan pikirannya menyatu.



Porong Nagaraja Mungwing Dhengkul.



Maknanya Bima memegang kebenaran dan memantapkan ilmu diri terhadap kritik dan pendapat orang lain.10



Diceritakan, bahwa ketika Werkudara lahir, masih dalam keadaan terbungkus seperti telur. Semua senjata tidak ada yang sanggup untuk memecahkan telur tersebut. Yang bisa memecahkan hanya gajah Sena. Ketika telah pecah, bayi Werkudara diinjak-injak oleh Gajah Sena. Tetapi ajaibnya bayi Werkudara tidak mati bahkan bertambah besar gagah. Kemudian oleh Werkudara, Gajah Sena diserang dengan Kuku Pancanaka, mati seketika, dan jiwanyapun bersatu dengan Werkudara.



Werkudara tidak bisa basa (jawa: krama alus) kepada siapa saja, kecuali kepada Dewa Ruci. Walau tidak bisa basa, Werkudara mempunyai watak setia, hormat kepada guru, selalu membasmi setiap kejahatan, senang menolong, cinta kepada sanak saudara, dan adil. Ia tidak mau menyembah kepada siapa saja kecuali kepada Tuhan.



Sosoknya tinggi dan besar. Memakai gelang bernama supit urang. Mukanya selalu menunduk seperti orang sedang shalat. Dia tidak melayani orang lain jika pekerjaannya sendiri belum selesai. Ini mengisyaratkan bahwa shalat haruslah tenang, tidak boleh tengak tengok, sebab akan membatalkannya 11. Wayang Bima merupakan gambaran dari orang yang berwatak ksatria, berbudi luhur, suka menolong, adil, berani karena benar, membasmi kejahatan, berbakti kepada orang tua, dan berbakti kepada guru. Mengajarkan kepada manusia akan pentingnya mendirikan shalat lima waktu.



Arjuna



Arjuna merupakan putra nomor tiga dari prabu Pandhudewanata dengan Dewi Kunthi Talibrata. Sebenarnya ia merupakan titisan (putra) Bathara Indra.



Arjuna mempunyai beberapa nama yaitu Permadi/Pamadi, Indratanaya, Jahnawi, Kumbang Ali-ali, Dananjaya, dan Palguna.



Arjuna merupakan kstaria dari kerajaan Madukara. Ia mempunyai pusaka keris Pulanggeni, panah Pasopati, panah Sarotama, dan keris Kalanadhah. Ia juga mempunyai aji-aji Panglimunan atau Malayabumi dan Seipi Angin.



Arjuna mempunyai istri Wara Sembadra, Srikandhi, Larasati, Dewi Dersanala, dan lain-lainnya.
Sosoknya ideal (tidak tinggi tidak pendek). Merupakan lelananging jagad (tampan sekali), sehingga membuat para wanita terpikat oleh ketampanannya. Suka berpuasa, prihatin. Ini mengajarkan kepada manusia untuk selalu berpuasa, sebab dengan berpuasa maka jiwa akan bersih, muka berseri-seri, dan kuat menghadapi cobaan 12.



Nakula



Nakula merupakan putra dari Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Madrim. Sedangkan Dewi Madrim. Nama lain dari Nakula adalah Pinten dan Tripala. Nakula merupakan ksatria dari Sawojajar. Istrinya bernama Dewi Soka.



Dalam wayang digambarkan sebagai sosok yang suka bersedekah, infak, membantu fakir miskin. Mengajarkan kepada manusia untuk senang mengeluarkan zakat. Tidak serakah dan tamak.



Sadewa
Nama lain dari Sadewa adalah Tangsen atau Darmagranti. Ia merupakan anak dari Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Madrim.



Dalam lakon wayang Sudamala, raden Sadewa bisa mengubah wujud Bathari Durga ke wujud asalnya yaitu dari raksasa menjadi bidadari yang sangat cantik.



digambarkan sebagai sosok yang kaya raya. Akan tetapi tidak lupa diri. Ibadahnya tekun. Mengajarkan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji ke baitullah ketika mampu (baik secara materi, kesehatan, dan keselamatan).



Selain menghadirkan tokoh-tokoh berkepribadian baik dan sesuai dengan kepribadian mayarakat jawa, dalam kesenian pewayangan juga menyuguhkan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat jawa. Misalnya:



Tokoh Cakil. Disebut juga dengan Gendir Penjalin, Gendring Caluring, Eneng-eneng Kodheng, Kathang Mimis, Lentring Maya13. Dari nama-namanya tersebut jelas terlihat bahwa Cakil merupakan sosok yang jahat. Menghalangi setiap manusia yang hendak mencari jalan kebenaran. Dalam pedhalangan selalu muncul dalam perang kembang. Disebut dengan perang kembang, karena hendak melambangan dan mengajarkan kepada setiap manusia bahwa sudah menjadi hal yang wajar bila dalam hidup selalu saja diwarnai dengan ujian, cobaan, dan godaan. Menyadarkan kepada kita agar selalu dekat dengan Allah. MenjadikanNya sebagai tempat untuk bersandar dan meminta pertolongan.



Tokoh Duryudana. Disebut juga dengan Kurupati, Jakapitana, Gendarisuta, suyudana, Tripamangsah, Jayapitana14. Merupakan anak tertua dari para kurawa. Dalam pewayangan dijadikan sebagai sosok yang suka mengingkari janji, merampas barang milik orang lain, lalim, haus darah.



Tokoh Sengkuni. Disebut juga dengan Sakuni, Trigantalpati, Harya Suman, Suwalaputra15. Dalam pewayangan merupakan sosok yang licik. Merupakan jelmaan dari Bathara Dwapara atau Dewa Perusak, merupakan musuh kebenaran.



Tokoh Dursasana. Dikatakan berasal dari kata Dur yang mempunyai arti ala (jelek), dan Sasana yang berarti papan16. Jadi Dursasana itu lambang dari sumber kejelekan. Wataknya seperti watak setan. Angkuh, pamer, sewenang-wenang, selalu mengumbar nafsu.



Tokoh Dasamuka. Sosok yang hebat, sakti mandraguna, akan tetapi angkuh, sewenang-wenang. Ketika dilahirkan oleh ibunya Dewi Sukesi, rupanya berjumlah sepuluh, menakutkan, warna mukanya kemerah-merahan, bersiung, dan kulit badanya biru menyeramkan17. Melalui sosok Dasamuka, kita diajarkan agar tidak berperilaku seperti dia.. Jangan kita serakah. Berbudilah dengan berbudi pekerti yang luhur, dan sebagainya.



Dari penjelasan mengenai beberapa watak tokoh wayang di atas, tentunya sarat dengan muatan filosofis, khususnya moral pedagogis. Selain itu dapat dipahami bersama bahwa kesenian wayang merupakan simbol kehidupan sehari-hari masyarakat jawa. Bagaimana mereka berinteraksi, bagaimana pola berpikir mereka, bagaimana menyikapi adanya pluralitas, kesadaran adanya realitas tentang warna warni kehidupan dan bagaimana menyikapinya, semua jelas tercermin dan termainkan dalam setiap pakeliran wayang. Ia merupakan sebuah kesenian yang berakar dari realitas nilai-nilai masyarakat jawa. Bahkan oleh sebagian masyarakat jawa, ia merupakan ‘wewayangane ngaurip’(bayangan hidup manusia dari lahir hingga mati) seluruh manusia di dunia.



Menurut Redi Panuju Wayang adalah refleksi dari kebudayaan jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan, dan cita-cita kehidupan orang jawa. Melalui cerita wayang masyarakat jawa memberi gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya (das sein) dan bagaimana hidup itu seharusnya (das sollen)18.



Wayang sesuai dengan asal katanya yaitu wayang, ayang-ayang, wewayang, atau bayang-bayang. Dalam bahasa jawa dikatakan rerupan sing kedadeyan saka barang sing ketaman ing sorot (pepadhang) (rupa yang tercipta dari sesuatu yang terkena sorot sinar)19. Dari nama wayang itu sendiri sudah terdeteksi makna filosofis yang cukup mendalam, tentang kesenian wayang yang menjadi cermin dan penegas dari adanya sebuah kehidupan masyarakat jawa yang unik dan penuh dengan nilai-nilai filosofis. Ia merupakan sebuah dimensi kecil yang tercipta untuk menggambarkan dan menegaskan eksistensi dari satu dimensi besar yang di dalamnya penuh dengan kemajemukan dan perbedaan cara pandang dalam menyikapi lika-liku kehidupan. Selain itu juga merupakan sebuah upaya untuk melestarikan ajaran-ajaran yang tercipta dari sebuah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kemuliaan. Menurut penelitian DR. Hazim Amir, di dalam wayang ada dua puluh nilai dasar yang kesemuanya itu merupakan atribut untuk mencapai kesempurnaan hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan beramal saleh kepada sesamanya. Aksiologi wayang dikembangkan dalam dua unsur pokoknya yaitu etika dan estetika.



Sejarah mengenai asal mula munculnya wayang itu sendiri belum ada kejelasan. Hanya saja ada sebuah prasasti peninggalan raja Balitung pada tahun 907 M yang di dalamnya disebutkan tentang seorang dalang yang menerima upah dari hasil kerja mendalangnya20. Ini menunjukkan, wayang merupakan hasil kebudayaan masyarakat jawa kuno, yang telah ada jauh sebelum islam masuk ke tanah jawa. Sebab selama ini, wayang di jawa selalu identik dengan dakwah islam, padahal sesungguhnya ia merupakan hasil kebudayaan masarakat Hindu Budha yang di dalamnya secara jelas bermuatan nilai-nilai ajaran-ajaran kedua agama tersebut.



Penelitian mengenai sejarah asal mula wayang itu sendiri memang telah banyak dilakukan oleh para ahli. Akan tetapi nampaknya belum memberikan kontribusi yang menggembirakan dan memuaskan. Kesimpulan sementara mereka mengenai masalah ini adalah bahwa kesenian wayang pada dasarnya merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Diketahui bersama bahwa masyarakat jawa zaman dahulu merupakan masyarakat yang sangat mengagungkan nenek moyang. Nenek moyang mereka disucikan dan dikeramatkan layaknya tuhan. Sehingga dalam masyarakat jawa kuno kita mengenal term ‘hyang’ atau ‘dahyang’.



Untuk menjaga hubungan vertikal (hubungan antara masyarakat dengan hyang) maka masyarakat jawa menggunakan medium yang disebut ‘syaman’. Dan diduga, kesenian wayang inilah yang menjadi media untuk mengenal hyang. Wayang diposisikan sebagai hyang sedangkan dhalang diposisikan sebagai syaman. Sehingga baik wayang maupun dhalang merupakan sosok yang sangat dihormati, dianggap mempunyai kekuatan mistik, dan sebagainya. Bahkan sebelum memainkan wayang, seorang dhalang seringkali melakukan ritual khusus terlebih dahulu, sebab dipercaya bisa mengusir roh-roh jahat (dalam masyarakat jawa dikenal dengan bathara kala). Sehingga ada pula yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kata ‘wad an hyang’ yang artinya leluhur.



Saat ini peran dhalang dalam kehidupan masyarkat Jawa masih sangat penting dan termasuk dalam bagian status sosial yang tinggi dan dimuliakan. Begitu juga dengan anak keturunan dhalang, juga menempati posisi yang dimuliakan. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, masyarakat jawa masih mempercayai bahwa dhalang mempunyai barakah, sehingga tidak sedikit dari mereka yang meminta berkah, misalnya minta air yang telah disuwuknya (didoakannya).



Dari sini agaknya kita juga bisa mengatakan pula bahwa pernyataan Sigmund Frued yang menyatakan bahwa kebudayaan berakar dari dorongan seks semata tidaklah seluruhnya benar. Sebab kebudayaan wayang jawa tercipta karena didorong oleh kebutuhan spiritual. Dan bahkan dorongan itu semakin terlihat jelas, ketika kita menengok isi dan fungsi awal dari kesenian wayang kulit itu sendiri.



Agaknya menarik juga pembahasan mengenai asal usul wayang ketika dikaitkan dengan masalah spiritual ataupun kepercayaan. Sebab bila kita menengok sejarah, sebenarnya tidak hanya masyarakat jawa saja yang menggunakan media tertentu untuk mengenal tuhannya. Di kalangan bangsa arab jahiliyahpun media semacam itu juga berlaku dan diagung-agungkan oleh mereka. Hanya saja dalam masyarakat arab kita tidak dikenalkan dengan nama-nama seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, dewa, atau dewi, tetapi kita akan mengenal berhala (latta, uzza, dsb) sebagai perwujudan ataupun media untuk mengenal tuhan. Tetapi setidaknya antara masyarakat jawa dengan masyarakat arab mempunyai satu persamaan yaitu sama-sama berambisi untuk mengenal tuhan dengan sekenal-kenalnya. Tetapi tentu saja ketika dikembalikan ke dalam syariat islam, ambisi-ambisi dan tindakan-tindakan semacam itu merupakan sesuatu yang dilarang dan merupakan dosa besar (syirik).



Dalam Kitab Centini disebutkan mengenai asal-usul dari kesenian wayang. Dikatakan bahwa kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang (Kediri) sektar abad ke 10. Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya yang sengaja digambar di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.



Ketika islam datang, islam mengadopsi kesenian kuno ini. Dan di sinilah sesungguhnya letak kehebatan dari islam. Masuknya agama islam pada sekitar abad 15 telah membawa perubahan yang cukup besar dalam dunia pewayangan. Salah satu faktornya karena islam merupakan agama yang mampu mengajarkan toleransi secara baik. Islam sangat peduli terhadap hal-hal yang melibatkan hubungan-hubungan horisontal (manusia dengan manusia) khususnya yang berkaitan dengan kebersamaan dan keselarasan hidup. Dalam menyikapi adanya kebudayaan yang telah menjamur dalam masyarakat jawapun, islam sangat lihai dalam mengambil sikap. Hal ini sangat jelas terlihat pada kasus pelestarian seni wayang kulit itu sendiri, di mana Walisongo yang notabene merupakan ulama-ulama yang bertugas untuk menyebarkan islam ke seluruh pelosok tanah jawa, mampu mengadakan akulturasi dengan sangat baik.



Kita dapat mengetahui, perbedaan kesenian wayang sebelum diberi jiwa islam dan sesudah diberi jiwa islam. Sebelum diberi jiwa islam, kesenian wayang adalah merupakan kesenian yang:
Kesenian yang kental dengan nilai-nilai ajaran hindu dan budha.



Bentuk wayang itu sendiri yang pada mulanya berbentuk menyerupai manusia. (arca-arca kecil). Sedangkan dalam islam, hal itu diharamkan.



Cerita-cerita wayang yang mengandung kemusyrikan.



Wayang sebagai media untuk mengenal tuhan (Hyang) dalam masyarakat jawa kuno.



Setelah diberi dengan jiwa islam, wayang berganti menjadi kesenian yang:



Kesenian wayang yang sesuai dengan syariat islam.



Bentuk wayang yang semula realistik proporsional distilir menjadi bentuk imajinatif seperti yang terlihat sekarang ini.



Merupakan media dakwah islam yang sangat baik.



Merupakan kesenian yang mengandung ajaran-ajaran, nasehat, petuah, yang sangat penting bagi pendidikan generasi muda khususnya pada masyarakat jawa.



Kekuatan utama budaya wayang yang semula berasal dari kandungan mistisnya dirubah sehingga berasal dari kandungan nilai falsafahnya.



Dengan kata lain, seni wayang ketika telah diberi nafas islam menjadi berubah secara isi dan fungsinya. Ia menjadi produk akulturasi yang didalamnya dipenuhi nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup yang sesuai dengan islam. Bahkan lebih lanjut lagi, kesenian wayang telah mampu memberikan nilai lebih yang sangat berharga bagi kemajuan peradaban khususnya bagi pembinaan akhlak spiritual. Sebab di dalamnya terdapat berbagai cerita-cerita yang menceritakan perjalanan hidup seorang hamba mencari “kesempurnaan hidup” yang sarat dengan petuah dan nasehat-nasehat penting.



Di sini terkesan bahwa kesenian wayang sangat membuka diri dalam menerima kebudayaan asing. Dan itu memang dibenarkan oleh para ahli. Bahwa kesenian wayang sangat mampu untuk menerima dan menyerap kebudayaan asing, sehingga eksistensi dan budaya wayang menjadi semakin kuat. Ini dikarenakan dalam dirinya ada kekuatan "hamot, hamong, hamemangkat". Hamot adalah adanya keterbukaan dan toleransi untuk menerima pengaruh dan masukan dari kebudayaan asing yang mempunyai pengaruh lebih besar atau lebih kecil darinya. Hamong adalah kemampuan untuk menyaring nilai ataupun unsur-unsur baru tersebut sesuai dengan karakteristik wayang itu sendiri. Hamemangkat adalah menjadikan suatu nilai menjadi nilai baru yang menarik.







1 Drs. Ridin sofwan, M.Pd, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm 79.
2 Untuk lebih jelasnya, lihat Woro Aryandini, S., Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa (jakarta: UI Press, 2000), hlm 46.
3 Lihat, Asmoro Achmadi, Filsafat dan Kebudayaan Jawa: Upaya Membangun Keselarasan Islam dan Budaya Jawa (Surakarta: CV. Cendrawasih, 2004), hlm 35.
4 Lihat, Dr. Purwadi, M. Hum, Seni Pedhalangan Wayang Purwa (Yogyakarta: Panji Pustaka Yogyakarta), hlm 35.
5 Ibid., hlm 39.
6 Pertunjukan wayang termasuk sebuah pertunjukan yang bersifat dramatik karena menonjolkan dramatisasi, sebuah drama atau tontonan yang para aktornya terdiri dari boneka atau manusia. Dengan demikian, kata wayang berarti sebuah permainan boneka yang memunculkan bayangan atau sebuah pementasan atau pergelaran bayangan. Lebih lanjutnya lihat, Dr. Purwadi, M.Hum, Seni Pedhalangan Wayang Purwa (Yogyakarta, Panji Pustaka, 2007), hlm 3.
7 Asmoro Achmadi, Filsafat Kebudayaan Jawa: Upaya Mebangun Keselarasan Islam dan Budaya Jawa (Surakarta: CV. Cendrawasih, 2004) hlm 59.
8 Drs. Ridin sofwan, M.Pd, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm 80.
9 Lebih lengkapnya baca, Sumantri Sumasaputra, Serat Saking Pakeliran Pedhalangan Ringgit Purwa Filsafat (Yogyakarta: Karya Rencana, 1953), hlm 119.
10 Lihat, Serat Bimapaksa (1953), hlm 39-40. Atau bisa juga lihat, Heniy Astiyanto, SH, Filsafat Jawa: Menggali Butiran-Butiran Kearifan Lokal (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), hlm 414 - 415.
11 Heniy Astiyanto, SH, Filsafat Jawa: Menggali Butiran-Butiran Kearifan Lokal (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), hlm 327.
12 Effendi Zarkasi, Nilai Islam dalam Pewayangan (Jakarta: Depag, 1977), hlm 91.
13 Warih Jatirahayu dan Suwarna Pringgawidagda. Mutyara Rinonce: Budi Pekerti Ing Pewayangan (Jakarta:Ditjen Dikdasmen, 2000), hlm 126.
14 Ibid., hlm 29.
15 Ibid., hlm 83.
16 Ibid., hlm 68.
17 Ibid., hlm 25.
18 Baca, Dr. Kanti Walujo, M.si., Dunia Wayang: Nilai Estetika, Sakralitas, dan Ajaran Hidup (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm x-xi.
19 Tim Penyusun Balai bahasa Yogyakarta, Kamus Besar Bahasa Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm 844.
20 Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuna (Jakarta: Djambatan, 1985), hlm 262.



Oleh: Muhammad Zaairul Haq

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga


Tidak ada komentar: